Industri Besi Baja Butuh Investasi US$ 14 Miliar
Sumber : Investor Daily
Industri besi baja nasional membutuhkan total investasi senilai US$ 14 miliar (Rp 174,74 triliun) hingga 2025. Investasi itu dibutuhkan untuk membangun fasilitas smelter industri besi baja dengan total kapasitas 14 juta ton.
Andi mengungkapkan, peningkatan kapasitas produksi besi baja akan dilakukan secara bertahap. Pada 2015, pabrik milik PT Krakatau Posco direncanakan mulai berproduksi dengan kapasitas 3 juta ton crude steel. Selain itu, akan ada peningkatan kapasitas produksi dari pabrik milik PT Krakatau Steel sebesar 1 juta ton crude steel.
Pada 2020, penambahan kapasitas sebesar 4 juta ton akan dilakukan. Tambahan kapasitas ini berasal dari perluasan pabrik Krakatau Posco tahap II (3 juta ton) dan pengolahan produk yang dihasilkan PT Jogja Magasa Iron (1 juta ton).
Ditargetkan pada tahun 2025, untuk memenuhi kebutuhan crude steel yang diperkirakan mencapai 19, 12 juta ton, ditargetkan akan ditambahkan kapasitas produksi sebesar 6 ton.
Andi melanjutkan, pihaknya meminta produsen besi baja untuk mengoptimalkan penggunaan bahan baku dalam negeri dalam memenuhi permintaan baja di pasar dalam negeri. Setidaknya, dibutuhkan bahan baku bijih besi sebanyak 250 juta ton dan pasir besi sebesar 110 juta ton untuk memenuhi permintaan produk besi baja pada 2025.
“Sementara itu, total kebutuhan energi untuk membangun fasilitas smelter industri besi baja dengan total kapasitas 14 juta ton pada 2025 adalah sebesar 1.174 megawatt,” jelas Andi.
Menurut Andi, industri besi baja di Indonesia masih menjanjikan pertumbuhan yang cukup tinggi. Hal ini terlihat dari konsumsi baja per kapita yang masih rendah.
Hal senada diungkapkan Vice President Head of Market Research & Development PT Krakatau Steel Tbk Bimakarsa Wijaya. “Konsumsi baja per kapita Indonesia relatif rendah jika dibandingkan dengan negara lainnya di Asia. Pada 2013, konsumsi baja Indonesia hanya 52 kilogram (kg) per kapita, jauh di bawah Thailand yang sebanyak 253 kg per kapita, Malaysia 330 kg per kapita, dan Singapura 879 kg per kapita,” ujar dia.
Menurut Bimakarsa, kebutuhan baja nasional akan terus meningkat, dan ketergantungan terhadap produk impor juga semakin tinggi.
“Industri baja domestik harus tumbuh dan berkembang agar ketergantungan terhadap produk impor dapat dikurangi,” tambah dia.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, nilai impor produk besi baja pada 2013 mencapai US$ 12,59 miliar, lebih tinggi dari nilai ekspor yang hanya US$ 1,91 miliar.
Sementara itu, utilisasi industri ini masih cukup rendah, di kisaran 68%. Tercatat, jumlah perusahaan besi baja yang beroperasi di Indonesia pada 2013 sebanyak 352 perusahaan, dengan jumlah tenaga kerja 114.596 orang. Industri ini mencatatkan pertumbuhan yang cukup tinggi pada 2013, yakni sebanyak 10,74%.
Total investasi yang masuk pada 2013 sebesar Rp 55,8 triliun. Sebanyak US$ 3,57 miliar dalam bentuk penanaman modal asing (PMA) dan Rp 21,89 triliun berupa penanaman modal dalam negeri (PMDN).
“Industri baja merupakan industri strategis dan merupakan industri ketahanan nasional, mengingat peran dan fungsinya dalam mendukung industri konstruksi-infrastruktur, manufaktur, dan pertahanan,” kata Bimakarsa.
Dia memprediksi, Indonesia akan menjadi pasar baja Asean terbesar, mengingat tingkat pertumbuhan ekonomi, geografi, dan infrastruktur.
“National interest (kepentingan nasional) terhadap industri baja nasional perlu mendapatkan perhatian lebih, mengingat kondisi yang berkembang dan persaingan global saat ini,” ujar dia.
Bimakarsa menambahkan, road map pertumbuhan industri baja nasional harus memerhatikan struktur fundamental, proyeksi supply demand, kapasitas, dan teknologi.
“Pembangunan industri baja dalam negeri sebaiknya diarahkan untuk lebih ditujukan dalam upaya pemenuhan kebutuhan pasar domestik. Konsumsi baja tahun 2020 diperkirakan meningkat menjadi 84-100 kg per kapita,” ungkap dia.
Tantangan
Sementara itu, Ketua Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (IISIA) Irvan Kamal Hakim mengungkapkan, industri baja nasional terus mengalami tekanan, baik dari eksternal maupun internal.
Tekanan eksternal datang dari harga komoditas yang tetap stagnan, ditambah harga minyak dunia juga mengalami penurunan. Sedangkan tekanan internal berasal dari suku bunga dalam negeri yang terus naik.
Irvan menambahkan, tekanan lain dalam negeri yang dihadapi industri baja nasional adalah harga gas yang masih tinggi. Menurut dia, hanya Indonesia negara yang harga energinya terus naik, karena negara negara lain sudah menurunkan harga energinya.
“Bagaimana industri baja nasional bisa berdaya saing kalau banyak tekanan seperti sekarang?” ujar dia.
Agar industri baja nasional bisa berdaya saing, lanjut Irvan, asosiasi meminta pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang bisa melindungi industri baja dari tekanan eksternal dan internal.
Dia meminta, pemerintah melakukan program peningkatan produk dalam negeri, sebagaimana Instruksi Presiden No 2 Tahun 2009. “Produk dalam negeri harus bisa bertahan, terutama dalam penggunaan baja nasional,” ujar dia ketika ditemui di Kantor Kementerian Perindustrian, Jakarta, baru baru ini.
Sementara itu, Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian Harjanto membenarkan bahwa Asosiasi Baja meminta bantuan dari pemerintah untuk mengeluarkan proteksi bagi industri baja nasional. Menurut dia, pemerintah sedang mengkaji beberapa proteksi yang akan dikeluarkan.
“Ada 3 proteksi yang bisa dikeluarkan pemerintah untuk melindungi industri baja dari tekanan. Pertama, menaikkan tarif bea masuk; Kedua, menerapkan konsep national supply demand; dan Ketiga mengeluarkan kebijakan anti dumping. Semua proteksi ini sedang kami exercise,” ujar dia.
Toko Besi Baja Bandung CV BAJA SAKTI UTAMA
(Toko Besi Cipta Utama)
Est. 1986
Bandung – Indonesia
Telp : (022)6031862 / (022)6034234
Fax : (022)6037777
No HP : 0859-5600-5777
Email : cvbajasaktiutama@gmail.com
Alamat : Jalan Rajawali Timur No. 48, Bandung
Website : https://cvbajasaktiutama.com/
Jangan ragu untuk menghubungi kami!